Senin, 24 November 2008

Palestina Berjuang ! ! !

Pengorbanan Seorang Ibu

Ada seorang anak yang hendak berangkat ke sekolah dan dia menuliskan sesuatu di secarik kertas. Lalu dia meletakkan kertas itu di atas kulkas. Dan dia berangkat ke sekolah dengan tergesa-gesa karena takut terlambat.
Ibu hendak mengambil sebuah telur di kulkas. Ibu melihat secarik kertas dari anaknya yang bertuliskan "untuk ibu". Kemudian Ibu membacanya,

25 November 2008,
Buku B.Inggris = Rp.59.000
Bensin = Rp.12.000
Jajan di sekolah = Rp.10.000
Bayar Tugas Kelompok = Rp.10.000

Ibu pun tersenyum dan kemudian menulis di belakang kertas tadi,

Ongkos Mengandungmu = GRATIS
Ongkos Melahirkanmu = GRATIS
Ongkos Menyusuimu = GRATIS
Ongkos sakit hati karenamu = GRATIS

Waktu berlalu begitu cepat, Anak tadi pun pulang kemudian dia pergi menuju kulkas. Dan dia membaca kertas yang tadi. Anak itu pun berlinang air mata. Lalu dia pergi menuju Ibunya dan segera meminta maaf.








Jadi, apa yang dapat kamu simpulkan dari cerita di atas ?

kirim jawabannya melalui komentar anda dibawah

Sabtu, 22 November 2008

tak bisa ke lain hati

Surat dari orangtuaku kugenggam erat. Mereka memintaku pulang liburan ini. Mereka rindu sekali. Ah, gumpalan angan itu melayang lagi. Solo tercinta dan mas… Kusandarkan kepala ke tembok dekat jendela, ‘Duhai Rabb,…. apa arti semua ini?”

Solo. Gambaran mas Rijal yang masih belum menikah dan aku yang masih setia menunggu. Kesetiaan memang kadang terasa teramat menyakitkan. Kesetiaan yang aku sendiri tak tahu apakah layak kubangun dan kupelihara pada seorang yang aku tak pernah tahu apakah memang benar akan menjadi jodohku.

Tapi aku tak bisa membohongi diri, harapan itu masih lekat. Meskipun itu berarti malam-malamku menjadi teramat gelisah. Sujud malamku mengalir hambar. Tangis malamku tanpa cinta. Dalam kepalaku hanya dipenuhi lelaki shalih itu. Kini aku sering merutuki diri yang kurasa bukan lagi aku yang dulu. Dhina yang penuh percaya diri dan sangat yakin jodoh itu Allah jua yang menentukan. Bahkan Aku… aku sering takut mas Rijal menemukan muslimah lain yang lebih baik dan cocok untuknya.

24 September 20001

“Dhin, seorang ikhwan kembali melamarmu. Kemarin Mbak sodorkan beberapa biodata, tapi ternyata dia memilihmu. Apakah kamu sudah siap sekarang?” Ucapan Mbak Lia tadi siang menyeruak kembali.

Aku? Dilamar? lagi? Ya, Rabb apalagi ini? Di saat sedemikian banyak akhwat antri menunggu datangnya pinangan , justru aku yang tak berharap malah mendapatkannya. ‘Ya Allah, aku masih ingin menunggu mas Rijal’, bisikku dalam hati dengan mata terpejam penuh penghayatan.

Sudah kedua kalinya Kau kirimkan sosok laki-laki shalih kepadaku. Apakah itu artinya mas Rijal bukan jodohku? Apakah itu artinya sudah tiba masaku untuk memutuskan menikah? Walau bukan dengan mas Rijal? bahkan berbeda 180 derajat dibanding mas Rijal? Sanggupkah aku?.. kututupi wajahku, tak sanggup menahan gundah ini.

“Beri saya waktu satu pekan, mbak. saya ingin istikharah dulu,” kata-kata itu yang kulontarkan pada mbak Lia.

***

1 Oktober 2001 saat langit biru cerah dan matahari bersinar hangat.

Dengan mengucap Bismillah, aku berangkat ke rumah Mbak Lia. hari ini adalah hari yang disepakati untuk memberikan keputusan. ‘Ya Allah, Engkau yang membulak-balikkan hati hamba-Mu, berikanlah keputusan yang berbaik bagiku’. Do’a itu kulantunkan berkali-kali dalam tiap keheningan malamku sepekan terakhir. Di malam terakhir aku sudah mantap dengan keputusanku. Matap? Benarkah? Mungkin tidak. tapi Mungkin juga iya. “Ya Allah, Engkau maha tahu, apa yang bermain-main di hatiku. Tapi, Ya Rabb, aku hanya ingin memenuhi setengah dienku. Bantu aku!,” Seperti bacaan dizikir, kata – kata itu kuulang-ulang sepanjang perjalanan ke rumah mbak Lia.

“Gimana, Dhin?” tanya Mbak Lia tanpa basa-basi setelah aku duduk di ruang tamunya.
Aku terdiam sejenak. Kurasakan jantungku berdegup keras. “Insya Allah saya menerimanya, Mbak,” suaraku terdengar agak parau di telingaku sendiri. Mbak Lia menatapku lekat.

Aku mengarahkan mataku untuk balas menatap, “Beliau bagaimana, mbak?”

Mbak Lia tak segera menjawab. Diraihnya tanganku dan digenggamnya erat.

“Sabar, ya Dhin!” Mbak Lia memandangku penuh kasih. Aku tahu maksudnya. Ada selintas nyeri kurasa menikam hatiku.

“Kalau boleh tahu, alasannya mundur karena apa, Mbak?”

“Tidak ada, Hanya, katanya perasaannya mengatakan anti belum siap!”

***

“Belum Siap?!”…. Belum Siap, apa?

Kalimat itu terus mengikutiku sepanjang perjalann pulang. Sakit sekali hati ini dibilang belum siap. Padahal aku sudah coba mengikhlaskan diri, kubuang segala pertimbangan manusiawiku, tapi malah dia yang mundur, kenapa aku lagi yang harus dipersalahkan? Ah.. Kalau memang tidak sreg, kenapa tidak terus terang saja?

Ataukah ini hukuman-Mu padaku ya, Allah? Karena aku pernah menolak seorang lelaki shalih yang datang padaku dengan hati yang ikhlas? Kucoba pendam perasaan terhina ini. Bagaimanapun , ini adalah konsekuensi dari pilihanku.

Sejujurnya, haiku sebenarnya masih belum sepenuhnya menerima ikhwan itu. Karena dia tak seperti Mas Rijal. Ah, dia lagi, kenapa juga sosok itu terus menggangguku? Tak mau lekang dari ingatan?

Bahkan, selintas tadi ada semacam kelegaan yang mengalir saat mendengar beliau mundur. Itu berarti, aku masih punya harapan pada Mas Rijal. Ya, masih ada Mas Rijal.

***

“Baru pulang, Mbak?” teguran Ibu Nardi, tetangga depan rumah membuyarkan lamunanku. Rupanya aku sudah sampai di rumah kontrakanku yang terkunci. Semua teman serumahku sedang pergi.

“Ini ada surat buat mbak, tadi Pak Pos datang,” Bu Nardi mengulurkan sebuah amplop coklat. Dahiku berkerut saat menerima amplop itu. Ada cap pos kilat khusus Solo di pojok atas. Nama dan alamatku diketik rapi pakai komuter. “Terima Kasih, Bu”, ucapku.

Tanganku gesit membuka amplop itu. Sepucuk undangan berwarna biru muda! Warna favoritku juga Mas Rijal. Tiba-tiba badanku terasa dingin. Sejenak aku terpaku menatapinya. Solo.. mas Rijal? pikirku coba menghubungkan. Dengan tangan agak gemetar, pelan-pelan kubuka undangan itu. Aku berharap itu bukan dia.

Dengan tinta warna emas tertulis nama itu. Nam yang teramat kukenal. Nama yang setahun terakhir mengisi mimpi-mimpiku. Nama yang setahun terakhir menjadi kekuatanku untuk bertahan di kota rantauan ini. Seseorang yang mendorongku untuk terus berkembang. ‘Rijal Herguno’. Tak terasa setitik air jatuh membasahi undangan biru itu. Inikah akhir dari penantianku, ya Allah?

Lagu dangdut bersenanda dari warung kopi dekat rumah. Suaranya lengking, mengiringi suasana hatiku, membuatku malu lalu menghapus air mata. Seorang wanita muda yang menangisi harapan semu…

***

15 Oktober 20001, 10.00 WIB

Saat ini, 675 km dari Jakarta di kota kelahiran kami, Mas Rijal pasti tengah melangsungkan pernikahannya. dengan seorang akhwat shalihah, pilihannya sendiri. Akhwat berwajah sederhana, namun tersenyum manis yang lebih empat tahun darinya. “Dhin, Wajah cantik itu belum tentu bidadari. Tapi seorang wanita shalihah pasti bidadari… “ aku teringat ucapannya dulu. Sudah lama, tapi masih akrab di telinga.

Penantian panjangku telah berakhir. Kegelisahan itu telah menemukan muaranya. Sekarang, akan lebih mudah bagiku untuk menerima orang lain. Seorang yang tulus, seorang yang tak kalah dari Mas Rijal”, tegasku.

Aku teirngat sebuah ceramah tentang poligami beberapa waktu lalu. salah satu alasan kenapa laki-laki boleh menikahi lebih dari satu wanita tetapi wanita tidak adalah karena secara psikologis, wanita hanya sanggup mencintai satu orang laki-laki sedangkan pria bisa mencintai lebih dari satu orang sekaligus dengan kadar yang relatif sama. Dulu aku tak sependapat dengan argumen itu. Tapi kini? Aku merasakan sendiri ternyata memang benar, wanita tak akan pernah bisa mendua hati. Hatiku hanya cukup diisi satu nama. Dan selama ini tanpa sadar, aku telah mengisi dengan sebuah nama yang ternyata bukan hakku. Sesuatu yang akhirnya membuatku menutup pintu bagi lelaki shalih lain. Hampir saja aku membakar ladang hatiku hanya karena mengharap seekor belalang. “Rabb, Berikanlah aku cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu..”

Satu-satu, jari-jariku mantap memencet tombol-tombol Handphone, “Happy wedding day, Barakallahu lakum —Dhin’ Pendek saja. Berikutnya kumasukkan sebuah nomor yang sangat aku hafal setahun terakhir, dan segera memencet “send”.

“Ini yang terakhir”, bisikku. “Selamat jalan, semoga bahagia”.

TAMAT

Note :
Tulisan ini saya ketik kembali dari Majalah Al-Izzah No. 24/Th. 3, 31 Januari 2002. “Kadang memang beginilah hidup ini, yang diharapkan tidak seindah kenyataan. Sehingga berserah diri pada Yang Maha Kuasa barangkali jalan yang terbaik, disamping masih tetap berusaha dan berdoa. Tidak hanya dalam urusan jodoh, tetapi dalam urusan rejeki dan kesehatan.”

  • 4 Comments
  • Filed under: Cerita Islam
  • Tak Bisa Ke Lain Hati

    “Suatu saat, jika ada yang berniat menikahiku, aku ingin itu karena dia melihat sesuatu yang istimewa dalam diriku. Bukan seorang yang hanya berniat menikah, dan menyerahkan kepada guru ngajinya dijodohkan dengan siapapun. Apakah aku salah?”

    April 2001, saat bulan bersinar lebih dari separuh.

    ’Apakah ikhlas selalu bermakna menafikan pertimbangan-pertimbangan manusiawi?’ Pertanyaan itu tak bisa lekang dari benakku. Sejak peritiwa ta’aruf dua hari yang lalu. Saat itu, mbak Lia, guru ngajiku berpesan, ‘Dhin, kalau sudah seaqidah dan sefikrah, yang lainnya tinggal mengikuti. Apalagi, sekarang akhwat lebih banyak daripada ikhwan. Jangan sampai kamu menolak rizqi. Dia ikhwan lho!’

    Mengingat itu semua, aku kembali menghela nafas. ‘Apakah ikhlas selalu bermakna menafikan pertimbangan manusiawi?’ Pertanyaan itu kembali bersemayam di kepalaku. Berputar, melibas, mengurangi, tanpa menemukan jawaban. Hingga akhirnya, pertanyaan itulah yang ingin aku mintakan jawaban pada Yanti, teman sekamarku. Keheningan malam dan kebekuannya yang memenjarakan dinding kamar sempit kami menjadi saksi.

    “Secara umum, aku kira jawabanya adalah YA,” jawab Yanti. “Karena Ikhlas bisa bermakna menerima apa yang diberikan Allah dengan lapang dada.”
    “Tapi itu tak berarti guru ngaji berhak menodong khan?….”
    “Tentu saja tidak. Anti berhak menyampaikan harapan-harapan, keinginan dan sebagainya”.
    “Apakah jika dia berpredikat ‘ikhwan’ dan ngaji, semuanya sudah cukup! Di mana diletakkan kecocockan visi, pemikiran, orientasi, dan karakter? Sekarang ini jumlah ikhwan akhwat melimpah. Lantas atas dasar apa, seorang ikhwan dijodohkan dengan seorang akhwat?”, desaku.
    “Bukankah anti bisa bertanya, minta informasi yang lebih lengkap?” Yanti menyarankan dengan sabar.
    “Sudah…!” Lantas aku serasa mendapat tempat utuk mengurangi beban yang beberapa hari ini kusandang.

    Sepekan yang lalu mendadak Mbak Lia memberikan biodata seorang ikhwan. usiaku memang sudah sangat cukup untuk menikah. Dua puluh lima tahun. Aku terkejut ketika itu, tapi aku hanya sanggup untuk mengiakan. Tiga hari kemudian aku dihadapkan dengan ‘laki-laki tak di kenal’ dalam biodata itu di rumah mbak Lia, aku sangat berharap laki-laki itu seperti yang kuimpikan. Seperti…., Ah! Sudahlah, ternyata aku harus kecewa.

    “Suatu saat, jika ada yang berniat menikahiku, aku ingin itu karena dia melihat sesuatu yang istimewa dalam diriku. Bukan seorang yang hanya berniat menikah, dan menyerahkan kepada guru ngajinya dijodohkan dengan siapapun. Apakah aku salah?”

    “Tidak. Hak kamu untuk punya keinginan seperti itu. Betapapun, kamu yang akan menjalani. Maka keputusan itu harus keputusanmu, bukan keputusan guru ngaji.”

    “Aku ingin dia bisa menerimaku dengan segala kondisiku, bahkan mendukung cita-citaku. Bahwa aku bukan tipe orang yang bisa diam di rumah. Bahwa aku ingin kuliah lagi, aku ingin mengajar, aku ingin aktif bergabung dengan lembaga-lembaga sosial.”

    Aku menerawang keluar jendela kamar yang terbuka. Beberapa kerlip bintang tertangkah oleh mataku. “Tapi dia ingin aku di rumah saja. Dia ingin aku tidak bekerja di luar jika sudah punya anak”.
    “Kalau begitu, kamu tolak saja.”
    “Aku tak berani!”

    Yanti menatapku lama. “Tampaknya, ada permasalah lain yang jadi ganjalanmu, Dhin! Bukan bagaimana dia. Istikharahlah Ukhti agar Allah saja yang menunjukkan jalan itu untukmu, “Yanti menepuk pundakku dan meninggalkanku yang masih menatapi langit. Bulan di langit mulai tertutup awan.

    ’Permasalahan lain!’. Ya, Permasalahan lain. Barangkali memang benar inilah masalahku yang sebenarnya. Kata-kata Yanti itu kurasakan dalam membekas. Kata-kata itu pula yang menghadirkan nama pada galau hati yang selama ini tak kumengerti apa. Galau yang telah delapan bulan ini mengisi jiwa dan menenggelamkanku pada rasa gelisah, cemas, harapan serta penantian. Juga pada mimpi. Mimpiku tentang seorang lelaki shalih, yang pernah melamarku delapan bulan yang lalu. Mas Rijal. Lelaki shalih kakak kelasku di SMA dulu, di Solo, kota kelahiranku. Laki-laki yang aku tahu pasti akan mendukung cita-cintaku. Laki-laki idaman. Cerdas, alim dan bersahaja.

    Namun sayang, proses kami tidak berjalan lancar, karena aku masih kuliah Ekstensi di Jakarta. Masih dua tahun lagi, dan aku tak bisa menginggalkannya karena orangtuaku keras tidak mengijinkanku. Sementara, Mas Rijal juga tak bisa pindah ke Jakarta, karena beliau memegang posisi kunci di usaha media yang baru dirintisnya.

    Aku tahu itu dan sangat sadar. Aku rela serela-relanya kalau mas Rijal mundur atas alasan ini. Bahkan dulu, delapan bulan yang lalu itu, aku yang mengajurkan beliau untuk mencari muslimah lain saja. Namun, jawaban Mas Rijal sangat di luar dugaanku ‘Let it be my problem! Not Yours’. Jawaban yang mengantung. Akhirnya aku memilih untuk menunggu saja.

    Sementara itu, mbak Lia, yang sudah keuanggap pengganti orangtuaku di Jakarta menganggap semuanya sudah berakhir, karena Mas Rijal tak pernah berkabar lagi tentang lamarannya.

    Namun tidak demikian bagiku. Masih sangat nyata dalam benakku, masih kusimpan dengan rapi surat berisi kalimat terakhir Mas Rijal, ‘Let it be my problem. Not Yours’

    Meskipun beliau sangat jarang dan hampir tidak pernah menghubungiku, tapi kenyataan bahwa beliau sampai saat ini belum menikah makin memperkuat harapanku.

    ***

    Masih April, bulan tak lagi bulat penuh.

    Dua hari lagi aku harus memberikan jawaban. Dan aku masih juga diliputi keraguan. bayang-bayang Mas Rijal bukannya makin tipis, tapi malah makin lekat di benakku. Hari ini, sudah berulangkali aku meraih gagang telpon dan memencet nomor HP mas Rijal. Aku ingin bertanya tentang komitmennya. Tapi selalu saja pada angka terakhir gagang telpon itu aku letakkan kembali. Aku tak sanggup. Aku malu. Jiwa perempuanku, jiwa putri Soloku menahan hasratku itu. ‘Perempuan tak layak untuk memulai, dia semestinya menunggu’, begitu pelajaran dari nenekku. tapi aku harus bagaimana? Aku masih berharap-harap cemas. Aku bingung statusku dalam lamaran atau tidak. Istikharahku tak menghasilkan apa-apa. Bahkan resah di jiwa itu kian mendera.

    ***

    Awal Mei 2001

    Hari ini adalah hari terakhir harus memberi keputusan. Dan aku masih juga tenggelam dalam balauku. Duhai Rabbi, kenapa aku jadi lembek begini?

    “Saya tak bisa menerimanya Mbak, sya belum siap” Jawaban itulah yang akhirnya ku berikan. Nampak benar wajah Mbak Lia menyemburatkan kekecewaan. Tapi ada dayaku? Aku tak sanggup mendua jiwa. Bagiamana munkin aku bisa mengiyakan, sementara hatikumasih terpaut pada seseorang lain yang masih saja ‘nakal’ bermain-main dalam ruang hatiku. Aku bisa membayangkan, tentu ini akan sangat menyakiti hai ikhwan pilihan Mbak Lia itu. Mana ada laki-laki yang rela istrinya mendua hati? aku tak tega melukainya. Aku… aku lebih memilih menunggu mas Rijal. Ya! Menunggu mungkin lebih baik. Harapanku, suatu saat nanti, ketika takdir telah menyatakan bahwa mas Rijal memang bukan jodohku. Atau ketika aku telah sanggup melupakan Mas Rijal. Ini yang berat !.. (Cerita Oleh : Himmah ‘Aliyah )

    Bersambung ……

    =======
    Tulisan ini saya ketik kembali dari Majalah Al-Izzah No. 24/Th. 3, 31 Januari 2002, Soalnya ceritanya mengharu biru, dan jari-jari kedua tangan saya sudah gatal ingin mengetik lagi. Duh.. tak ada yang bisa diketik nich selain ngetik cerita he.. he.. he.. Jadinya maaf bin Afwan pada pengarang dan Majalah Al-Izzah karena saya tulis ulang tanpa konfirmasi dulu. Kalau tak berkenan harap informasikan ke mail kank_agus(at)yahoo.com, dan tulisan ini akan saya turunkan serta separuh ceritanya tidak saya ketik lagi :), tetapi kalau dijinkan semoga bisa menjadi suatu kebaikan.
    =======

  • 0 Comments
  • Filed under: Cerita Islam
  • Suatu saat Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang – orang Anshar yang telah beriman dan baiat kepada Rasulullah di bukti Aqabah. Disamping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peristiwa besar.

    Sebenarnya di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik”. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tempatan atau kota hijrah, pusat dari dai dan dakwah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela al-Islam.

    Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.

    Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.

    Pada musim haji berikutnya dari perjanjian Aqabah, kaum muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka , oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair.

    Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah saw. atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaqnya mengikuti pola hidup Rasulullah yang diimaninya, yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka.

    Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah -kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci Allah, menyampaikan kalimatullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.

    Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta sahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiga-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya masing-masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah satu diantaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan. Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal. Tetapi Tuhannya Muhammad saw. – yang diserukan beribadah kepada-Nya – oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorangpun yang dapat melihat-Nya.

    Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.

    Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan Sa’ad bin Zararah, bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!”

    Seperti tenang dan mantapnya samudera dalam, laksana terang dan damainya cahaya fajar, terpancarlah ketulusan hati ”Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya mengeluarkan ucapan halus, katanya “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”

    Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nurani sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengarkan dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyrakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.

    “Sekarang saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Quran dan mengajarkan dakwah yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah saw, maka dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya. Usaidpun berseru kepadanya dan kepada sahabatnya, ”Alangkah indah dan benarnya ucapan itu! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini?” Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab, ”Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah”.

    Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.

    Secepatnya berita itu pun tersiar. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. dan setelah mendengarkan uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula.

    Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan tanya bertanya sesama mereka, “Jika Usain bin Hudlair, Saad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”

    —oo—

    Demikian duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah.

    Orang-orang Quraisy semakin geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadap hamba-hamba Allah yang shalih. Terjadilah perang Badar dan kaum Quraisypun beroleh pelajaran pahit yang menghabisakan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan Kaum Muslimin pun berisap-siap mengatur barisan. Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggilah “Mush’ab yang baik”, dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera.

    Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak mentaati peraturan Rasulullah, merek meninggalkan kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan mengundurkan diri. Perbuatan mereka itu secepatnya merubah suasana, hingga kemenangan kaum muslimin beralih menjadi kekalahan.

    Dengan tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu Kaum Muslimin dari puncak bukit, atau tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membatasi Kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Melihat barisan Kaum Muslimin porak poranda, musuhpun menunjukkan serangan ke arah Rasulullah dengan maksud menghantamnya.

    Mush’ab bi Umair menyadari suasana gawat ini, Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan ngauman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah saw. dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk barisan tentara.

    Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mushab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang yang menginjak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah.

    Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan menceritakan saat-saat terakhir kapahlawanan besar Mush’ab bin Umar.

    Berkata Ibnu Sa’ad, “Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-‘Abdari dari bapaknya, ia berkata :

    “Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seseorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangan-nya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul” Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuhpun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush’ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraih ke dada sambil mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itupun patah. Mush’ab pun gugur, dan bendera jatuh”.

    Gugurlah Mush’ab dan jatuhlah bendera. ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa mengarungi kancah pengorbanan dan keimanan. Disaat itu Mush’ab berpendapat bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan sebelah tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”.

    Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat Al-Quran yang selalu dibaca orang.

    —oo—

    Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang mulia. Dan seolah-olah tubuh yang telah kaku itu masih takut menyaksikan bila Rasulullah ditimpa bencana, maka disembunyikannya wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang dikhawatirkan dan ditakutinya itu. Atau mungkin juga ia merasa malu karena telah gugur sebelum hatinya tenteram beroleh kepastian akan keselamatan Rasulullah, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan mempertahankan Rasulullah sampai berhasil.

    Wahai Mush’ab cukuplah bagimu Ar-Raman.
    Namamu harum semerbak dalam kehidupan.

    —oo—

    Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai ditempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuran dengan deras air matanya. Berkata Khabbah ibnul ‘Urrat:

    “Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah saw dengan mengharap keridlaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Diantara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikitpun juga. Diantaranya ialah Mush’ab bin Umair yang tewas di perang Uhud. Tak sehelaipun kain untuk menutupinya selain burdah. Andainya ditaruh diatas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Maka sabda Rasulullah saw, “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir!

    Betapapun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah karena gugur pamanda Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh orang-orang musyrik demikian rupa, hingga bercucurlah air mata Nabi. Dan betapapun penuhnya medan laga dengan mayat para sahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya. Betapa juga semua itu, tapi Rasulullah tak melewatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya. Memang, Rasulullah berdiri di depan Mush’ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai menyelubungi dengan kesetiaan dan kasih sayang, dibacakannya ayat :


    Diantara orang-orang Mu’min terdapat pahlawan-pahlawan yang telah menepati janjinya dengan Allah.

    (Q.S. 33. Al-Ahzab : 23)

    Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya bersabda :

    Ketika di Mekah dulu, tak seorangpun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masi, hanya dibalut sehelai burdah.

    Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu ke arah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak diatanya, Rasulullah berseru :

    Sungguh Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada disisi Allah

    Kemudian sambil berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, sabdanya,

    Hai manusia! Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam ! Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslimpun sampai hari qiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.

    Salam atasmu wahai Mush’ab…….
    Salam atasmu sekalian, wahai para syuhada….
    Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

    T.A.M.A.T



    Mush’ab bin Umair salah seorang di antara para shahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadinya. Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kemudaan.

    Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kemudaannya dengan kalimat “Seorang warga kota Mekah yang mempunyai nama paling harum”.

    Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorangpun di antara anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya demikian rupa sebagai yang dialami Mush’ab bin Umair.

    Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah bibir gadis-gadis Mekah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan meningkat sedemikian rupa hingga menjadi buah ceritera tentang keimanan, menjadi tamsil dalam semangat kepahlawanan ?

    Sungguh, suatu riwayat penuh pesona, riwayat Mush’ab bin Umair atau “Mush’ab yang baik”, sebagai biasa digelarkan oleh Kaum Muslimin. Ia salah satu di antara pribadi -pribadi Muslimin yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad SAW.

    Tetapi corak pribadi manakah?

    Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanusiaan umumnya.

    Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Mekah mengenai Muhammad al-Amin, Muhammad SAW, yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka sebagai da’i yang mengajak umat beribadat kepada Allah Yang Maha Esa.

    Sementara perhatian warga Mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah SAW serta Agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majlis tempat-tempat pertemuan yang selalu diharapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya. Gayanya yang tampan dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya pemikat dan pembuka jalan pemecahan masalah.

    Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.

    Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu, maka pada suatu senja di dorong oleh kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah SAW sering berkumpul dengan para shahabatnya, temapt mengajarnya ayat-ayat al-quran dan membawa mereka shalat beribadat kepada Allah Yang maha Akbar.

    Baru saja Mush’ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat al-Quran mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.

    Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah mengulurkan tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada pemuda yang sedang panas bergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati yang tenang dan damai, tak obah bagai lautan yang teduh dan dalam. Pemuda yang telah Islam dan Iman itu nampak telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas – berlipat ganda dari ukuran usianya – dan mempunyai kepekatan hati yang mampu merubah jalan sejarah.

    Khunas binti Malik yakni ibunda Mush’ab, seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat. Ia wanita yang disegani bahkan ditakuti.

    Ketika Mush’ab menganut Islam, tiada satu kekuatanpun yang ditakuti dan dikhawatirkannya selain ibunya sendiri, bahkan kalau seluruh penduduk Mekah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush’ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya bagi Mush’ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah. Demikian ia senantiasa bolak – balik ke rumah Arqam menghadiri majlis Rasulullah, sedan hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya.

    Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Maka kaum Quraisy berkeliaran di mana – mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak.

    Kebetulan seorang yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad saw. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush’ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.

    Berdirilah Mush’ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat al-Quran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisi dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketaqwaan.

    Ketika sang ibu hendak membungkam mulut puteranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai – demi melihat nur atau cahaya yang membuat wajah yang telah berseri cemerlang itu kian berwibawa dan patut diindahkan – menimbulkan suatu ketenangan yang mendorong dihentikannya tindakan.

    Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab terhindar memukul dan menyakiti puteranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan bela berhala-berhalanya dengan jalan lain. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakan sangat rapat.

    Demikian beberapa lama Mush’ab tinggallah dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habsyi melindungi diri. Ia tinggal disana bersama saudara-saudaranya kaum Muhajirin, lau pulang ke Mekah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para shahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.

    Baik di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan yang harus dilalui Mush’ab di tiap saat dan tempat kian meningkat. Ia telah selesai dan berhasil menimpa corak kehidupannya menurut pola yang modelnya telah dicontohkan Muhammad SAW. Ia merasa puas bahwa kehidupannya telah layak untuk dipersembahkan bagi pengorbanan terhadap Penciptanya Yang Maha Tinggi, Tuhannya Yang Maha Akbar.

    Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah SAW. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal – tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.

    Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia seraya bersabda :

    “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

    Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.

    Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Iapun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan. Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad puteranya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baiknya kecuali melepaskan dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.

    Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran pihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari pihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata : “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi”. Maka Mush’ab pun menghampiri ibunya sambil berkata: “Wahai bunda! Telah anakanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan anakanda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”.

    Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut : “Demi bintang! sekali-kali aku takkan masuk ke dalam Agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi”.

    Demikian Mush’ab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar.

    Tapi jiwanya yang telah dihiasi dengan aqidah suci dan cemerlang berkat sentuhan Nur Illahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain, yaitu manusia yang dihormati penuh wibawa dan disegani.

    —oo—

    Bersambung …….

  • 0 Comments
  • Filed under: Cerita Islam
  • Karena Iman

    Pada zaman dahulu ada seorang raja yang mempunyai tukang sihir. Ketika tukang sihir itu telah menjadi tua, ia berkata kepada raja : “Wahai raja , saya telah tua, untuk itu kirimkanlah kepada saya seorang anak untuk mempelajari ilmu sihir agar nanti bisa menjadi pengganti saya bila saya meninggal.”

    Lalu raja memilih anak (Ghulam) untuk mempelajari ilmu sihir, dan adalah jalan yang dilalui oleh Ghulam ke rumah tukang sihir terdapat Rahib (pendeta). Ghulam tertarik dengan Rahib itu, hingga ia duduk untuk mendengarkan ajaran-ajarannya dan ia merasa puas. Maka ia selalu terlambat untuk belajar pada tukang sihir, lalu ia dipukulinya. Kemudian ia mengadu kepada Rahib, lalu Rahib berkata:

    “Kalau kamu dipukul tukang sihir, katakan kepadanya bahwa kamu masih disuruh ibumu, dan kalau kamu dimarahi oleh ibumu katakan kepadanya bahwa kamu ditahan oleh tukang sihir, maka hal itu berjalan dengan baik.”

    Pada suatu hari di jalan raya terdapat ular yang sangat besar, hingga jalan menjadi macet dan orang-orang sama ketakutan, lalu Ghulam maju sambil berkata :

    “Hari ini saya akan mengetahui, tukang sihirkah yang lebih besar ajarannya ataukah sang Rahib, lalu ia mengambil batu dan melemparkan ular itu seraya berkata :

    “Ya Allah, jika ajaran Rahib yang benar daripada ajaran tukang sihir, maka matikanlah ular ini supaya orang-orang bisa berjalan dengan aman.” Maka ular itupun mati dan orang-orang bisa meneruskan perjalanannya. Hal itu ia ceritakan kepada Rahib, lalu Rahib berkata :

    “Wahai anakku, kini kamu lebih hebat daripadaku, dan kamu akan mendapat ujian yang sangat berat, maka jika hal itu telah datang, kamu jangan sekali-kali menyebut nama saya.”

    Ghulam mendapat karunia dari Allah hingga ia dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti buta, belang dan lain-lainnya.

    Salah seorang kawan raja ada yang buta dan ia telah berobat ke mana saja tetap belum juga sembuh, lalu dia datang kepada Ghulam dengan membawa hadiah-hadiah yang banyak, ia berkata :

    “Jika kamu dapat menyembuhkan, maka seluruh permintaanmu akan kami penuhi.”

    Ghulam menjawab : “Saya tidak dapat menyembuhkan, yang bisa menyembuhkan hanyalah Allah, kalau tuan mau beriman kepada Allah, maka saya akan berdo’a untuk kesembuhan tuan.”

    Lalu ia beriman kepada Allah, setelah Ghulam berdo’a kepada Allah, seketika itu juga mata orang itu menjadi sembuh.

    Kemudian orang itu mendatangi raja, lalu kagum kepadanya seraya bertanya :

    “Siapakah yang telah menyembuhkan matamu?”

    Ia menjawab : “Tuhanku.”

    Raja bertanya : “Adakah Tuhan selain aku ?”

    Ia menjawab : “Tuhanku dan tuhan raja adalah Allah.”

    Lalu raja memaksa ia meninggalkan kepercayaannya kepada Allah. Tetapi ia menolak. Maka raja menyiksanya dan terus menyiksanya hingga ia menunjukan bahwa yang telah menyembuhkan matanya adalah Ghulam.

    Kemudian raja memanggil Ghulam, lalu berkata kepadanya :

    “Wahai anakku, sihirmu telah melampaui batas hingga dapat menyembuhkan penyakit buta dan belang.”

    Ia menjawab : “Saya tidak dapat menyembuhkan apa-apa, sesungguhnya yang dapat menyembuhkan hanyalah Allah.”

    Maka raja menyiksa dan terus menyiksa hingga ia terpaksa menunjukkan sang Rahib, lalu raja memanggil Rahib dan memerintahkan kepadanya agar meninggalkan agamanya, tetapi ia menolak. Dan akhirnya Rahib digergaji hingga badannya belah menjadi dua.

    Lalu raja memerintahkan kepada orang yang telah sembuh dari butannya agar meninggalkan agamanya, tetapi ia menolak, maka iapun akhirnya digergaji seperti sang Rahib, kemudian giliran Ghulam diperintahkan untuk meninggalkan agamanya, tetapi iapun menolak, lalu raja memerintah tentara-tentaranya untuk membawa Ghulam keatas bukit dan kalau tetap menolak supaya dilemparkan.
    Lalu mereka berangkat dan ketika sampai di atas bukit Ghulam berdo’a :

    “Ya Allah, peliharalah saya dari kejahatan orang-orang ini.”

    Tiba-tiba bukit ini bergoncang dan tentara-tentara itu jatuh dari atas bukit, mereka mati.

    Maka Ghulam berangkat menghadap raja, lalu ia ditanya oleh raja : “Kemana tentara-tentara yang tadi bersamamu ?”

    Ia menjawab : “Allah telah menyelamatkan saya dari kejahatan mereka.”

    Lalu raja memerintahkan beberapa tentara lainnya untuk membawa Ghulam ke tengah laut dan bila masih tetap menolak untuk dilemparkan ketengah laut.

    Lalu mereka berangkat dan setelah mereka sampai di tengah laut, Ghulam berdo’a :

    “Ya Allah, peliharalah saya dari kejahatan orang-orang ini.”

    Tiba-tiba datanglah ombak besar hingga perahu terbalik dan mereka tenggelam semuanya, lalu Ghulam kembali menghadap raja, dan ia ditanya :

    “Kemana tentara-tentara yang membawamu tadi ?”

    Ia menjawab : “Allah telah melindungi kami dari kejahatan mereka, wahai raja engkau tidak akan bisa membunuh saya melainkan bila raja mau menuruti perintah saya.”

    Lalu raja bertanya : “Apa perintahmu itu ?

    Ia menjawab : “Kumpulkan semua rakyat di alun-alun lalu salib saya pada sebuah tiang dan ambilah panahku. Kemudian panahlah aku sambil mengucapkan : Bismillahir Rabbil Ghulam (dengan nama Allah Tuhannya Ghulam), bila itu engkau lakukan maka engkau dapat membunuhku.”

    Maka segeralah raja mengumpulkan semua rakyatnya di alun-alan, lalu ia menyalib Ghulam pada sebuah tiang. Kemudian ia memanahnya dengan panah Ghulam sambil membaca : Bismillahir Rabbil Ghulam, maka panah itu mengenai pelipis Ghulam dan mengucurkan darah segar dari pelipisnya. Lalu ia meletakkan tangannya di atas luka-lukanya, hingga ia mati.

    Tiba-tiba rakyat yang menyaksikan kejadian itu serentak mengucapkan : Amanna bi Rabbil Ghulam (kami beriman kepada Tuhannya Ghulam), sehingga kepercayaan kepada Allah merata kepada semua lapisan rakyat.

    Maka seorang pembantu raja berkata kepada raja : “Sesuatu yang tuan takuti kini benar-benar telah menjadi kenyataan, semua rakyat tuan telah beriman kepada Tuhannya Ghulam.”

    Maka segeralah raja memerintahkan untuk membuat parit besar pada setiap persimpangan jalan, lalu dinyalakan api di dalamnya. Kemudian raja memerintahkan kepada pembantu-pembantunya untuk melemparkan ke dalam api tersebut siapa saja yang telah beriman kepada Tuhannya Ghulam.

    Maka diantara orang yang telah beriman yang dibakar itu terdapat seorang ibu yang menggendong bayi, ketika ia mau masuk ke dalam api itu ia menjadi maju mundur karena tak tega anaknya ikut terbakar, dalam keadaan itu tiba-tiba bayi itu dapat berbicara (menasehati ibunya) : “Wahai ibu, bersabarlah engkau karena engkau berada di pihak yang benar.” (Ahmad Diar)

    Sumber :1001 KISAH NYATA, Achmad Sunarto
    Di tulis kembali oleh http://alislam.or.id

    Catatan dari admin(agusw.cjb.net) : cerita ini pernah saya temukan juga dalam kumpulan hadits Rosul pada Kitab Rihadust Sholihin

  • 0 Comments
  • Filed under: Cerita Islam

  • Di Bening Persahabatan

    “Tika! Sudah siap belum?”
    Teriakan Raka dari bawah balkon terdengar. Gadis tujuh belas tahun itu buru-buru meraih sepatu ketsnya. Kalau dia tidak turun ke bawah dalam lima menit, bisa-bisa si Bangor itu ngomel panjang lebar.

    “Tikaaa….!!!”

    Yang punya nama melongokkan kepalanya ke bawah. Satu telunjuknya menempel di bibir. Sekali lagi Raka teriak, Papa yang lagi sakit gigi bakal ngedamprat cowok satu itu habis-habisan.

    “Mam, pergi dulu, ya?” Tika mencolek bahu Mama. Wanita setengah baya yang masih cantik itu mengangguk.
    “Sama Raka kan?” Tika membenarkan.

    Mama menarik nafas lega. Kalau Tika jalan dengan kawalan Raka yang berbadan besar itu, rasa-rasanya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka sudah berteman baik, tapi … mereka pacaran! Namun, kala disinggung, Tika selalu mengelak.

    “Ihh.. Mama … kita kan cuma temenan!”
    Begitu dalih putri tunggalnya itu setiap Mama dan Papa meledek. Lalu … apa benar hubungan keduanya tak lebih dari itu? Mama tak bisa menebak.
    ***

    “Tika, hari Minggu mau ke mana?”
    Raka menjawil bahu Tika. Saat itu mereka lagi nongkrong di kantin. Asyik menikmati air kelapa muda.

    “Enaknya ke mana ya, Ka? Gue lagi malas joging. Eh kita ngamen, yuk?”
    Raka mengucek poni Tika gemas. Ini anak … ada saja ide gilanya! “Katanya mau mulai alim, biar kayak Mbak Ratna!? Masa sekarang pengen ngamen sih?”

    Tika kena batunya. Yang disebut Mbak Ratna itu kakak kelas mereka, aktivis rohis yang dihormati Tika karena keanggunan dan sikap bijaksananya.

    Tapi … lagi-lagi Tika selalu bisa berkelit.
    “Eh, emangnya kenapa? Sekali-kali punya kegiatan berbeda dong! Lagian, ngamen hari Minggu kan enak. Kagak ada pelajarnya. Namanya juga cari nafkah. Yang penting halal! Kali aja dapat uang lebih gede!” dengus Tika cuek.

    “Ah .. mending lo gue kasih noban deh, gratis daripada ngamen! Gue aduin Mama,lho!”
    “Aduin aja! Paling doi minta ikutan! He he he!” Gadis kelas dua es em u itu malah menantang.

    Raka lagi-lagi geleng kepala. “Gue serius, soalnya gue mau naik gunung hari Sabtu. Mau ikut?”
    “Sama siapa lagi? Lo ajak si Koko sama Ari deh. Nanti gue ajak si Laras. Gue ingin kenalin, tuh anak, sama ulet bulu! He he he ..” Raka memandang Tika serius.

    “Kalo berdua memangnya kenapa? Gue kan cowok baik-baik lagi!” suara Raka tegas. Tika menghentikan kesibukannya mengunyah kelapa muda.

    “Tapi .. kayaknya nggak bisa Ka, anak-anak rohis mau bikin acara rujakan sambil silatulrahmi dengan anak kelas satu. Eh, lagian, kalau jauh gitu jangan cuma berdua Ka, nggak enak. Entar kita dikira pacaran lagi!”

    Deg! Dada Raka berdetak. Pacaran?

    Sejauh ini memang banyak yang mengira mereka berdua pacaran. Hampir nggak ada yang percaya sama penjelasannya bahwa dia dan Tika cuma teman baik.

    Si koko misalnya, berkali-kali dia meledeknya sebagai cowok yang setia.“Setia nih ye.. lo nggak bosen bareng Tika doang selama bertahun-tahun ini?”
    Atau..
    “Gile lo Ka, awet ama sih sama si Tika!”
    “Apa sih resepnya bisa nggak putus-putus selama lima tahun lebih?”

    Resepnya? Waktu itu Raka cuma menyahut asal, “Supaya nggak putus-putus? Jangan jadian dong! Pasti nggak bakal putus!”

    Tapi, tetap nggak ada seorang teman pun yang percaya. Setelah beberapa kali mencoba menjelaskan, akhirnya Raka menyerah. Membiarkan orang-orang sekitar mereka yang menganggap mereka pacaran.

    Hal serupa menimpa Tika. Gadis imut itu juga sering mendapat pertanyaan serupa. Tapi bukan Tika kalau tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya dengan baik.
    “Tik, lo benar ya, pacarnya Raka?”
    Waktu Nona nanya begitu, Tika langsung pasang muka misterius.

    “Nona pengen tahu?”

    Dan si gadis hitam manis itu pun mengangguk. Tika langsung menadahkan tangannya, sambil pasang muka melas, “Cepek dulu dong!”

    Kali yang lain si rese Laras yang penasaran. “Tik, serius nih. Gue naksir sama Raka. Jadi gue perlu tahu dia pacar loe apa bukan?”
    Tika sengaja diam. Dan Laras harus mengulang pertanyaannya tiga kali sebelum mendapat jawaban dari gadis itu.

    “Nngg .. jawabannya multiple choice. Lo pilih sendiri aja, ya? a. pacaran b. hampir pacaran c. tunangan d. suami-istri, e. bukan salah satu di atas. Nggak usah buru-buru jawabnya Ras. Soalnya nggak ada hadiahnya, kok!”

    Begitulah, baik Tika maupun Raka membiarkan orang sekitar mereka bingung dengan kedekatan keduanya. Sebetulnya, dahulu mereka sudah pernah menjelaskan, kalau Tika dan Raka cuma sohib baik doang. Eh, begitu mereka menjelaskan yang benar, justru banyak yang nggak percaya. Capek, akhirnya kedua anak muda itu malah jadi suka asal kalau ada yang menanyakannnya.

    Mereka memang bukan sepasang sejoli. Setidaknya belum. Tapi …, entah mengapa, baik Tika maupun Raka belum ada yang kecantol orang lain. Jadi… sebetulnya, gimana sih perasaan keduanya?

    Ide itu akhirnya muncul begitu saja. Anehnya, bukan dari Tika yang biasanya suka mengeluarkan ide-ide aneh, tapi justru dari Raka. “Tik, kita pura-pura pacaran aja, yuk?”
    Tika sempat bingung.
    “Kamu kenapa sih, Raka? Kok, tiba-tiba aneh begitu?”

    Raka mengangkat bahu.

    “Ya, kita coba saja, cuma pura-pura ini. Masalahnya, kayaknya cuma kita doang, deh yang belum pacaran. Temen-temen yang lain sudah punya gandengan.”

    Tika yang akhir-akhir ini dekat dengan Mbak Ratna, ketua keputrian mereka sebetulnya merasa agak nggak enak. Nggak pacaran saja sudah sering mendapat tausiyah karena bersahabat dengan Raka.

    “Biar bagaimanapun Tika …” ucap Mbak Ratna suatu hari padanya, “sulit sekali menemukan persahabatan yang tulus dengan lawan jenis. Percaya deh, sama Mbak!”

    Waktu itu Tika berdalih,“Sulit bukan berarti nggak bisa kan Mbak? Siapa tahu Raka termasuk sahabat yang sulit dicari itu!”

    Dan Mbak Ratna harus menarik nafas panjang menghadapi sikap keras kepala adik kelasnya itu.

    Buat Tika, dibalik sikapnya yang cuek bebek itu, sebetulnya dia menghargai anak-anak rohis, dia bahkan ingin suatu hari bisa benar-benar menjadi salah satu diantara mereka. Tetapi, kalau itu berarti harus menjauhi Raka, kayaknya kok, nggak adil.

    Agar tidak memutuskan hubungan persahabatannya dengan Raka, belakangan dia menyuruh cowok itu ikutan aktif di rohis. Minimal datang sebulan dua kali bertepatan dengan acara pengajian gabungan. Dan Raka menuruti permintaan Tika. Nah, kalau sekarang mereka pura-pura pacaran? Kan berabe?
    Raka masih menunggu jawabannya.
    “Mau, ya? Cuma pura-pura ini!”
    Meski masih ragu, Tika akhirnya mengiyakan. Mungkin nggak buruk-buruk amat kali, ya?

    Maksud Tika, seneng juga kan bisa ngerjain temen-temen mereka yang selama ini suka ingin tahu. Wajah kocaknya muncul. “Sebetulnya .. kenapa sih, orang harus pacaran, Ka?”
    Raka menggeleng lagi.
    “Gimana, setuju nggak?!”
    Dan sore itu … mereka akhirnya sepakat pura-pura jadian. Pacaran!

    Berita peresmian hubungan mereka berdua, memang tidak terlalu mengejutkan. Banyak teman yang mengira selama ini mereka memang pacaran. Cuma masalah waktu sebelum diproklamirkan. Dan mereka gembira, karena Tika dan Raka amat kelihatan serasi. Satu-satunya yang bersedih adalah kelompok anak-anak rohis. Termasuk mbak Ratna.

    Sebetulnya Tika mau menjelaskan, bahwa semua itu cuma pura-pura. Bahwa persahabatannya dengan Raka masih sebening dulu, tetapi Raka melarangnya.

    “Nggak usah deh, Tik! Nanti malah bocor sama teman-teman yang lain!”
    Ya sudah, akhirnya dia memilih diam.

    Terus, adakah yang berubah dalam hubungan mereka berdua? Sebagai pacar (pura-pura), Raka merasa harus melakukan apel alias wakuncar tiap malam Sabtu. Juga mengajak Tika ke tempat-tempat yang lebih romantis. Nonton misalnya.

    Di hadapan teman-teman lain, Raka juga berusaha agar terlihat lebih mesra. Sesekali dilingkarkannya tangannya ke bahu Tika, atau menggandeng tangan gadis itu.

    Sebetulnya sih, sebelum perjanjian ini, Tika merasa biasa-biasa saja jika terjadi kontak fisik dengan Raka, tapi sekarang… rasanya kok, jadi beda. Apa Raka merasakan hal serupa? Tika nggak tahu.

    Buntut-buntutnya, Tika merasa agak malas jalan bareng Raka yang lebih romantis itu tidak membuat perasaannya nyaman. Bahkan, seakan mereka tidak lagi cuma pura-pura.

    Tidak ada lagi dialog-dialog santai. Raka juga memintanya tampil lebih feminin jika mereka bepergian, katanya biar nggak dikira jalan sama teman atau adik.

    Gadis tujuh belas tahun itu akhirnya merasa terikat dan banyak diatur oleh Raka. Dan sekarang … Raka menunggunya di bawah. Apa yang sebaiknya dia lakukan, ya? Menghilang?

    Hus! Tika kan bukan nenek sihir! Panggilan Mama berkali-kali tak dihiraukannya. Dan, ketika Mama muncul dikamarnya, dia tak bisa menghindar.
    “Aduh .. anak manis! Ditunggu Raka di bawah kok, diam saja! Katanya mau ke ulang tahun teman?!”
    Tika tak bergerak. Masih meringkuk di bawah kemulan hangat selimutnya.
    “Tik .. Tika.. kamu nggak apa-apa kan?”

    Pertanyaan Mama malah memberi ide padanya,“Kayaknya Tika nggak enak badan deh, Ma!” katanya.

    Lho? Gantian Mama yang bingung. Sebab seharian ini, anak itu kelihatan lincah-lincah saja. Jangan-jangan ada hubungannya dengan Raka sebelum cowok itu datang, putri tunggalnya itu kelihatan sangat sehat dan bersemangat.

    “Tik .. kalau kamu memang sakit, nggak masalah. Mama bisa kasih pengertian kepada Raka. Tapi .. kalau kamu melakukan ini karena punya masalah dengan Raka sebaiknya diselesaikan. Jangan dihindari!”

    Hmm .. tampaknya pendapat Mama ada benarnya. Berpikir begitu, membuat Tika bangkit dari tempat tidurnya. Gadis manis itu mulai bersiap.

    Pesta ulang tahun teman sekelas Raka sama sekali tidak menarik minat Tika. Gadis itu lebih banyak melamun selama acara berlangsung. Hatinya sebal karena sikap Raka yang jadi berlebihan dimatanya. Berlagak mesra, ihh!
    Kenapa ya, si Raka seperti menjiwai banget? Padahal mereka kan cuma pura-pura pacaran?

    Syukurlah, akhirnya Raka ikut menyadari dan mengajak Tika pulang lebih cepat. Meski sebetulnya dia lebih suka berada di sana lebih lama dengan Tika.

    “Tik, mampir ke Pak Kumis dulu, ya? Mama tadi nitip bakso.”
    Suara Raka diselingi getaran mesin mobil. Tika yang sudah tidak bersemangat hanya mengangguk.

    Sambil menunggu pak Kumis membuatkan bakso, baik Raka maupun Tika tak banyak bersuara. Mereka menikmati kediaman yang tiba-tiba terjadi. Lalu, tanpa ditebak sebelumnya, Raka meraih kedua tangan Tika dan menatap gadis itu tajam. Mau nggak mau Tika jadi salting!.

    “Ka .. kenapa sih?” suara Tika heran.

    Raka tak menjawab keheranan Tika. Cowok itu sendiri tak mengerti kenapa dia bersikap demikian. Yang dia lakukan cuma menuruti dorongan hati. Tiba-tiba saja dia merasa ingin dekat dengan Tika, ingin menyentuhnya.

    Lalu sekali lagi, dorongan hati itu pula yang membuat Raka mendekatkan wajahnya ke wajah Tika.
    Mendapat agresi yang tiba-tiba .. Tika hampir menjerit.

    Wahh, kacau, Raka seperti kehilangan kontrol dan ketenangan yang selama ini dimilikinya. Sekuat tenaga gadis manis itu mendorong Raka. Langkah berikutnya? Tika kabur, berlari menjauhi mobil sohib baiknya itu. Meninggalkan Raka yang termangu di dalamnya.

    Masa bodoh! Lebih baik dia naik bis pulang, daripada bersama Raka dengan sikap anehnya itu!

    Di dalam bis patas AC, gadis itu merayapi jalan-jalan yang dilaluinya. Sementara hatinya merenungi jalinan persahabatan yang telah dibinanya sekian tahun bersama Raka. Seharusnya mereka cuma bersahabat, selamanya sahabat. Kenapa jadi begini?

    Tika mengoreksi dirinya. Benarkah mustahil bersahabat dekat dengan lawan jenis tanpa pamrih? Tanpa harus menjurus-jurus dalam kedekatan antara cowok dan cewek? Sepenuhnya persahabatan yang bening?

    Ahh… barangkali perkataan Mbak Ratna benar. Hal itu amat sulit ditemui! Buktinya, Raka yang telah tahunan dikenalnya bagai mengenal telapak tangannya sendiri bisa berubah. Bisa kehilangan kendali. Bisa tergoda… setan?!.

    Kalau hal serupa terjadi lagi, akan cukup beruntungkah dia menyelamatkan diri? Menjaga kehormatannya sebagai Muslimah seperti sering didengarnya dalam kajian-kajian rohis?
    Saat kata Muslimah itu bergaung di telinganya, Tika melihat bayangan dirinya di kaca jendela.

    Muslimah! Mulianya kata itu! Sungguh amat tak pantas disandangnya …setidaknya saat ini.

    Tika melirik bajunya yang minim memperlihatkan jenjang kakinya yang telanjang. Lalu belahan dada yang rendah. Rambutnya yang dirangkai ke atas, membuat leher jenjangnya terlihat jelas.

    Barangkali … tidak sepenuhnya salah Raka! Cowok itu cuma memanfaatkan kesempatan! Tapi Dia? Dia merencanakan seluruh detail penampilan yang menggoda ini.

    Layak kah dia berjejer bersama Muslimah lain dengan keanggunan mereka? Dengan jilbab rapi membalut tubuh?

    Ahh … tiba - tiba Tika ingin menangis.

    Bis yang ditumpanginya tetap bergerak, seiring dengan malam yang terus merayap pelan. Sementara itu Tika membiarkan air mata kesadaran membasahi kedua pipinya.

    Mulai besok dia akan berubah. Ya, dia akan menjadi Muslimah yang lebih baik. Batin Tika berkali-kali dengan wajah basah air mata.
    Ketika akhirnya bis yang ditumpanginya berhenti di depan rumah, butiran bening itu masih mengalir deras. Tika sama sekali tidak berusaha menghapusnya. Karena dia tahu, tiap butir air mata yang jatuh .. menyiratkan hasrat dan semangat untuk hijrah!!!.



    Jumat, 21 November 2008

    apa itu jhad fisabililah

    Definisi jihad dapat kita kaji dari suatu cerita sejarah. Pernah dalam satu pertemuan antara Rasulullah dan Sahabat terjadi dialog yang kurang lebih begini:

    Sahabat berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah seorang yang berjuang kerana marahkan sesuatu puak itu dikatakan jihad fisabilillah?”
    “Tidak. Itu tidak termasuk jihad fisabilillah.”
    “Apakah seorang yang berjuang kerana tunjuk berani itu jihad fisabilillah?” tanya Sahabat lagi.
    “Tidak,” jawab Rasulullah.
    “Apakah berjuang fisabilillah itu berjihad kerana bangsa?”
    “Bukan.”
    “Kalau begitu, ya Rasulullah, apa itu jihad fisabilillah?”
    “Berjihad fisabilillah itu ialah berjuang di jalan Allah untuk menegakkan kalimah Allah hingga menjadi tinggi. Jihad itu ialah untuk meninggikan kalimah Allah.”

    kisah palestina berjihad





    Mari berjihad!

    Yakinlah, pahala yang didapat dari membunuhi para zionis bangsat laknat yang keji itu pasti lebih besar daripada nyomasi grup boyband gak jelas atau pun wajah artis manis yang tak berdaya. Surga yang akan anda dapat dari misi ini pasti jauuuh lebih indah daripada surga hasil merusak kafe-kafe milik kaum yang kurang iman! Daripada sibuk ngurusi majalah porno dan hal-hal kayak gituan, lebih baik anda berjihad dalam bentuk nyata, mumpung ada kesempatan!

    LIHAT SEPERTI ANAK DI ATAS. . . . ! ! !


    Surga menanti anda!!! InsyaAllah!!

    YANG PALING DEKAT DENGAN KITA

    Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya.
    Lalu Imam Al Ghozali bertanya :
    Pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”.
    Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “Mati”. Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran ;185)
    Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”.
    Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah masa lalu. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
    Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?”.
    Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “Nafsu” (Al A’Raf : 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
    Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”.
    Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban kalian benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “memegang AMANAH” (Al Ahzab : 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.
    Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”.
    Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Solat. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan sholat, gara-gara meeting kita tinggalkan solat.
    Lantas pertanyaan ke enam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”.
    Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang… Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “lidah manusia”. Karena melalui lidah, Manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri

    Rabu, 12 November 2008

    SAMBUTAN KELUARGA ARMA

    assalamua'alaikum para pembaca


    Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Swt. karena dengan rahmatnya saya dapat meresmikan blog ini khususnya untuk para pembaca muslim.


    wass.wr.wb

    ketua arma 08/09


    Haris Robbani